tRbFFwIJXCPvDkjdZ6hw7BrVzKSmv3z6tIDMFXHn
Bookmark

Menakar Sistem Pemilu Mekanisme Proporsional Tertutup, Haruskah Disahkan?

Oleh: Wizdan Faiq Fadlillah (*)

PEMILIHAN umum untuk menentukan siapa yang akan duduk di kursi jabatan pemerintahan sebagai penyambung aspirasi masyarakat sehingga tercipta sebuah negara yang sejahtera. Tapi hal ini akan berbeda apabila keputusan akhir dari mahkamah konstitusi memutuskan bahwa pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup seperti pada masa orde baru 1971-1999.

Bagaimana tidak, cikal bakal kontroversi ini muncul dari ketua komisi pemilihan umum republik Indonesia (KPU RI) yang mengomentari proses uji materi Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu) dengan pernyataan bahwa pemilu tahun 2024 kemungkinan akan digelar dengan sistem proporsional tertutup.

Atas dasar pernyataan tersebut membuat geger masyarakat, karena akan berdampak kepada sistem pemerintahan Indonesia 5 tahun ke depan.

Pertanyaan yang dianggap melenceng dari mandat UU Pemilu dimana seharusnya masyarakat memilih anggota legislatif, sehingga ketika MK menyepakati pemilu tahun 2024 menggunakan mekanisme proporsional tertutup akan berbanding terbalik dengan UU Pemilu yang berlaku dikarenakan yang memilih atau menentukan calon yang duduk di parlemen bukan lagi masyarakat tetapi partai politik.

Ada beberapa poin kekhawatiran yang akan terjadi apabila pemilu menggunakan mekanisme proporsional tertutup:

1. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan berkurang, hal ini disebabkan atas dasar pilihan masyarakat yang tidak terwujud. Apabila hal tersebut terjadi maka akhir dari pemilihan calon legislatif bukan dari masyarakat tetapi dari partai politik pengusungnya. Masyarakat akan berfikir bahwa segala sesuatu yang telah diharapkan dari calon yang dia pilih hanyalah imajinasi belaka, apabila kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang, pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah karena masyarakat bisa saja melakukan tindakan yang tidak diinginkan.

2. Nepotisme pemerintahan akan tercipta. Hal tersebut dikarenakan penentuan calon yang duduk di parlemen berasal dari keputusan partai. Manusia normal akan selalu mengutamakan orang terdekatnya untuk mendapatkan kemenangan, sama halnya dengan kursi jabatan. Calon legislatif yang memiliki relasi supermasi dalam partai akan mendapatkan peluang yang begitu besar untuk dipilih sebagai perwakilan partai duduk di kursi parlemen sehingga akan tercipta nepotisme di pemerintahan, inilah yang tidak diinginkan dikemudian hari.

3. Partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif secara tidak langsung digantikan oleh partai politik. Pemilu yang seharusnya sebagai ajang pesta rakyat untuk menentukan perwakilannya di pemerintahan tetapi malah digantikan oleh partai dalam penentuannya.

4. Berpeluang menghilangkan relasi dan tanggung jawab sosial calon legislatif kepada masyarakat karena calon legislatif akan merasa lebih bertanggung jawab kepada partai politiknya karena dia dipilih oleh partainya sebagai legislator.

Dapat menjadi gambaran besar bagi negara kedepannya apabila pemilu tahun 2024 menggunakan mekanisme proporsional tertutup.

Sehingga sangat sulit bagi masyarakat untuk menaruh kepercayaan kepada partai politik dalam menentukan calon terpilih apabila skema tersebut dilakukan. Pernyataan yang sangat kontroversi tersebut yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu telah melanggar kode etik yang telah diatur dalam pasal 8 huruf c Peraturan DKPP nomor 2 tahun 2017 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.

Atas dasar penolakan tersebut, pemilu dengan mekanisme proporsional tertutup tidak boleh disahkan.

(*) Ketua Komisariat PMII Institut Agama Islam Sholahuddin Al-Ayyubi Cabang Kabupaten Bekasi